Biografi dan Karomah KH.Kholilurrahman (Cicit-Syaikhona-Kholil-Bangkalan-Madura)


Siapa yang tak kenal KH Kholilurrahman. Ra Lilur demikian biasa dipanggil, merupakan ulama yang sering didatangi orang penting negeri ini. Tak itu saja, warga biasa pun sering minta barokah hanya urusan sehari-hari, mulai dari urusan minta hari untuk pernikahan sampai minta obat alternarif, pilkades.

Ra Lilur, demikian masyarakat menyebut kiai ini. Nama lengkapnya KH. Kholilurrahman. Kalau dirunut nasabnya ke atas, ia adalah cicit ulama besar Indonesia, KH Kholil Bin Abd Latief, atau Syaikhona Kholil Bangkalan, atau Mbah Kholil.

Karomah Syeikh Kholil, Bangkalan Madura


Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” ialah Mbah Kholil, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali tanpa disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

Biografi Syeikh Kholil Bangkalan Madura

Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.

KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

URGENSI MURSYID DALAM TAREQAT

Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid”
(Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.