ICW Minta Kurikulum 2013 dihapus

Kamis, 28 Agustus 2014 | 14:25

Sejumlah murid Sekolah Dasar membaca buku
Foto copy ajaran baru, di dalam kelas SD 01
Menteng, Jakarta, Kamis (14/8). Sejak Di mulainya
kurikulum baru 2013 ditetapkan, siswa siswi
menggunakan buku mata pelajaran yang
difotocopy karena keterlambatan distribusi oleh kemendikbud.
Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW)  mendesak pemerintah untuk segera menghentikan
pelaksanaan Kurikulum 2013 (K-13), lalu kembali kepada Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Efektivitas K-13 dipertanyakan, karena tidak berdasarkan konsep
yang jelas, serta munculnya sejumlah persoalan dalam implementasinya seperti keterlambatan
buku dan pelatihan guru yang terburu-buru.
"ICW menilai kekacauan penerapan Kurikulum 2013 adalah bentuk kelalaian pemerintah dalam
menunaikan kewajibannya untuk menyediakan pendidikan bermutu. Menyikapi hal itu, ICW
merekomendasikan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013," kata peneliti dari
Divisi Monitoring Kebijakan Publik ICW, Siti Juliantari atau Tari, di kantor ICW, Jakarta, Kamis
(28/8).
Tari mengatakan K-13 secara serentak diberlakukan di semua sekolah mulai tahun ajaran
2014/2015, namun pada kenyataannya terlihat dipaksakan. ICW menyinyalir sejumlah persoalan
muncul sejak sekitar tiga minggu pelaksanaan K-13 di tahun ajaran 2014/2015.
Dia mencontohkan buku pelajaran siswa belum tersedia seluruhnya terutama di jenjang SD dan
SMP. Ketiadaan buku menimbulkan persoalan lainnya, yaitu orangtua dan siswa harus
mengeluarkan biaya sendiri untuk mendapatkan bahan K-13, baik lewat fotokopi, membeli di toko
buku, atau mengunduh dari internet. Padahal, menteri pendidikan dan kebudayaan selalu
menekankan bahwa buku K-13 dibagikan gratis kepada siswa karena dibayar memakai dana
bantuan operasional sekolah (BOS).
"Pertanyaannya siapa yang akan menanggung biaya yang terlanjur digunakan oleh orangtua
murid untuk pengadaan materi pelajaran K-13 tersebut?" kata Tari. Tari menambahkan buku-buku untuk siswa SMA dan SMK juga tidak sepenuhnya gratis karena pemerintah hanya menyediakan buku untuk
sembilan mata pelajaran wajiib. Sedangkan, buku- buku penjurusan atau peminatan ditanggung
sendiri oleh siswa atau sekolah.
Dari sisi guru, ujarnya, masih banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan K-13. Sedangkan,
guru-guru yang sudah dilatih, paling sedikit hanya mengikuti pelatihan dua hari dan paling lama satu
minggu. Dia mengatakan para guru juga mengeluhkan metode penilaian siswa. Sebab, K-13
mewajibkan guru membuat penilaian otentik berupa narasi untuk setiap siswa.
"Penilaian otentik menjadi persoalan bagi guru yang mengajar dengan jumlah siswa sangat banyak
seperti yang terjadi di SD atau SMP," ujar Tari.
Sementara itu, Bambang Wisudo dari Sekolah Tanpa Batas mengatakan penghentian K-13 adalah
langkah paling tepat. Sebab, K-13 sudah membuat kerugian uang, waktu, dan sumber daya. Menurut
Bambang, pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla harus memperjelas konsep pendidikan, sehingga
bisa dituangkan lewat revisi kurikulum. "Saya menyarankan kurikulum diserahkan kepada
sekolah saja untuk kembali ke KTSP, yang bukunya sudah ada daripada anak-anak makin tersesat,"
ujar Bambang.